Ruang Persidangan Dan Satu Cup Es Kopi

 


Ruang persidangan dan satu cup es kopi.

Tidurku tadi malam tidak nyenyak. Tidak pernah nyenyak sebenarnya, beberapa hari belakangan. Aku masih berharap, ketika aku terbangun di pagi hari, aku memiliki hidup yang normal, bukannya sedang melangkah ke arah perpisahan. Aku menjadi yang paling resah, yang paling gelisah, yang paling muram dalam perjalanan ini. Sementara, jika orang-orang tahu, tentu mereka akan dengan mudah berkata, "Loh, bukankah kau yang menginginkan jalan perpisahan? Harusnya kau tidur dengan nyenyak dan berjalan dengan bahagia menuju ruang persidangan". Padahal, Pemohon atau Termohon, seharusnya tetap menjadi pesakitan yang merasakan sakit di setiap langkahnya, apa pun alasannya. 

Aku menempuh jarak dengan perasaan campur aduk. Jika sebelum-sebelumnya aku merasa bosan menempuh perjalanan panjang ini, seolah jalan yang kutempuh tiada ujungnya, maka pagi ini, entah mengapa, aku berharap jalan yang kutempuh agar lebih panjang, lebih lama. Aku memelankan laju motor, menyaksikan kendaraan-kendaran lain melewatiku. Aku masih berharap pagi ini terbangun dan memiliki hidup yang normal, pernikahan yang baik-baik saja, kebahagiaan yang nyaman-nyaman saja. Rasanya, menempuh perpisahan ini masih menjadi hal terjauh yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Aku ketakutan, aku sendirian.

Rasanya aku masih merenungi banyak hal. Kepalaku lebih riuh dari mulutku. Badai di dadaku rasanya lebih ricuh daripada amarahku belakangan. Aku masih berharap tidak akan pernah tiba di pengadilan. Namun ajaibnya, persimpangan itu lekas tampak di depan mata. Aku hanya butuh berbelok kiri, menempuh dua ratus meter, dan aku tiba di sana. 

Iya, aku sampai di parkiran pengadilan. Mataku memanas tanpa bisa kutahan. Napasku rasanya berat. Hari ini benar-benar nyata. Semuanya terjadi begitu saja. Aku memang harus menghadapi persidangan. 

Hari ini, pengadilan lebih ramai. Aku takut menatap mata orang-orang. Kutambahi kesibukanku di parkiran; menuangkan es batu ke dalam cup es kopiku. Es batu itu lengket di tumblr. Aku memutar bola mata; drama lainnya dimulai. Aku menutup tumblr, menuangkan air mineral ke dalamnya, dan voila! es batu lepas dari dinding stainless tumblr. Aku menuangkan es batu ke dalam cup kopi. 

Lagi-lagi menghela napas. Es kopi sudah di tangan kiriku, aku harus melangkah ke ruang persidangan. Aku berhenti, bertanya kepada salah satu staf di sana. Mereka menunjukkan arah ruang persidangan. Jantungku kian berdebar. 

Aku berjalan, dan berhenti di depan pintu ruang persidangan. Aku menyesap es kopi. Tanganku bergetar. Mataku lagi-lagi memanas. Aku melangkah sejauh ini, sendirian, dan mereka bahkan masih tidak menyadari kesalahannya. 

Lagi-lagi, meski sudah sejauh itu, meski sudah berdiri di depan ruang persidangan itu, aku masih berharap pagi ini terbangun dengan perasaan baik-baik saja, dan hanya perlu bersiap pergi bekerja seperti biasa. Namun, alih-alih pergi ke kantor, aku harus berjalan ke Pengadilan Agama setelah mengantarkan anakku ke daycare

Setelah setengah tahun lebih, hal ini masih menyakitkan. 

Aku menangis. Lekas kuhapus dengan jilbab. 

Aku memasuki ruang tunggu persidangan, mendaftarkan diri di sana. 



Ada banyak wajah yang tidak berani kutatap. Aku gugup setengah mati. Ruangan ini rasanya begitu dingin. Lagi-lagi tanganku gemetar, dan aku menangis sendirian. Orang-orang datang bersama teman atau saudara. Sedang aku sendirian di sini, berharap almarhum bapak masih ada. Kubayangkan bapak akan menemaniku hari ini, andai ia masih ada. 

Pengumuman ruang sidang dibuka menggema ke seluruh ruang tunggu. Jantungku kian berdebar. Tanganku dingin dan gemetar. Aku menyesap es kopi terus menerus, dan tentu saja lekas habis. Aku pun kembali menjadi sosok kebingungan di antara ramainya orang-orang. Berkali-kali aku menyeka air mata. 

Setiap kali satu orang keluar, dan orang selanjutnya dipanggil, aku menahan napas. Merasa takut namaku dipanggil, merasa takut menyadari, bahwa semua ini bukanlah mimpi. 

Aku masih tidak mengenali segala retak perasaan yang menyerbuku saat ini. Bahkan, hingga kutinggalkan ruang persidangan, aku masih berjalan dengan linglung dan penuh tanya; adakah ini nyata? Masihkah bisa kuhadapi kenyataan?


Di luar hujan menderas. Aku baru selesai menyusun berkas-berkas yang harus dibubuhi stempel-materai. Aku masih termenung dengan perasaan yang tak menentu, sedang kau dengan ringan bertanya, "Maju terus?"

Adakah kau memperjuangkanku sekali saja? Tahukah kau aku yang hampir mati menempuh badai? 

Hujan mulai reda. Aku bergegas merapikan tas dan barang bawaan. 

Aku akan terus maju. Masih banyak hal yang harus kuurus. 



Post a Comment

0 Comments