Mimpi

 


Mimpi yang manakah yang sedang kususun ulang?

Hari-hari perpisahan ini memang tidak pernah mudah. Aku masih menangis, masih merenung, masih meredam badai yang bertahun-tahun kutanggungkan sendiri. 

Lima tahun, aku berjalan tanpa tahu arah. Aku kehilangan diriku sendiri, hingga sulit mengenali wajah dan isi kepalaku. Aku membungkam semua suara di tubuhku; suara dari kepalaku, dari pikiranku, dari hatiku, bahkan dari mulutku. Aku menahan segala pertanyaan yang seringkali mencuat dan muncul, meminta dipertanyakan dan dipikirkan. Namun, kutahan semuanya agar tidak bertambah keraguan dan kebingunganku sendiri.

Enam bulan aku menempuh jalan yang tidak mudah. Belakangan, mimpi-mimpi itu muncul ke permukaan, seolah menyapa dan meminta dihidupkan. Seolah semua mimpi-mimpi itu sedang berkata bahwa aku mampu, bahwa aku yang enam tahun lalu masihlah ada di sana, jauh di dalam diriku sendiri.

Aku mulai berangan-angan. Aku bahkan berani menambahi mimpiku sendiri, membayangkan di mana aku berada lima tahun mendatang, apa yang akan kulakukan sepuluh tahun kemudian, dan hal-hal menyenangkan apa yang akan kuhabiskan bersama anakku. Dan semua hal itu bukanlah lagi hal-hal kecil nan sederhana, melainkan tampak besar dan megah. Akan kuusahakan segala kemegahan itu untuk aku dan anakku sendiri. 

Beberapa bulan belakangan, aku tergelitik ingin melanjutkan pendidikan. Rasanya ingin sekali mengambil magister. Namun, gelar diploma rasanya tidak bisa akselerasi ke gelar magister. Aku tetap butuh gelar sarjana untuk bisa mengambil magister. Enam tahunku terbuang sia-sia hanya untuk menjaga marwah dan perasaan seseorang. Aku menahan diri untuk tidak menyelesaikan pendidikan karena merasa, saat itu, hanya salah satu yang bisa menyelesaikan pendidikan. Saat itu aku mengalah, sebab aku merasa aku telah memiliki gelar diploma. 

Namun, tahun-tahun berlalu, pengorbananku bahkan tidak terbayar sedikit pun. Sekarang aku tersadar, bahwa aku tidak bisa menjaga marwah orang lain, yang orangnya sendiri bahkan tidak ingin menjaga marwahnya sendiri. Tidak, aku tidak bertanggung jawab untuk hidup orang lain, kecuali hidup anakku, sebab aku yang telah melahirkannya dan membawanya ke dunia ini.

Kupikir, masa-masaku sudah selesai. Sekarang, aku justru merasa, aku berhak untuk merayakan dan mengusahakan semua mimpiku. Bukankah, kita hidup dari satu mimpi ke mimpi lainnya? Bukankah, mimpi itu sendiri yang memberikan kita tujuan dan membiarkan kita untuk terus berharap? Bukankah, mimpi itu pula yang akan memberikan alasanku untuk hidup besok, dan seterusnya? 

Aku akan melanjutkan pendidikan. Aku akan mengulang perjalanan Sarjana-ku nanti. Bukan sekarang, mungkin sepuluh tahun lagi. Saat anakku masuk SMA, aku akan mulai kuliah. Saat anakku mendaftar kuliah, aku akan menyelesaikan skripsi. Saat anakku memasuki tahun kedua kuliah, aku akan mendaftar untuk Magister. Bukankah menyenangkan, memiliki teman untuk belajar bersama?

Kubayangkan, akan sering terjadi percakapan seperti ini nantinya;

"Son, i'm stressed."
"Why?"
"Banyak tugas."
"Let's go to the coffee shop. You need refreshment!"

atau;

"Buk, pusing."
"Why?"
"Banyak tugas."
"Nugas di cafe kita?"
"Gas!"

Tahun terakhir kuliahku akan dipenuhi pikiran skripsi dan persiapan anakku masuk Oxford atau Cambridge. Nggak pa-pa, akan kulalui semuanya bersama dia. Aku akan menyusulnya, mendaftar Magister di universitas ternama. 

Aku bertanya kepada salah seorang teman. Apakah terlalu terlambat untukku?
Dan dia bilang, tidak ada yang terlambat untuk mewujudkan mimpi. 

Enam tahun aku ekstensi dari diploma ke sarjana, dan tidak selesai. Bukan karena aku tidak mampu, atau tidak pintar, tetapi karena terlalu banyak hal berat yang terjadi di hidupku lima tahun belakangan. Aku baru sadar, bahwa aku sangat mencintai belajar. Aku merasa, hari-hari menyusun Tugas Akhir dan skripsi itu sangat menyenangkan. Seru! Beberapa bulan belakangan, aku merasa sangat mampu, sangat capable untuk melanjutkan pendidikan. Satu-satunya hal yang kukenal dari diriku sejak dulu adalah keyakinanku tidak pernah salah. Ketika aku merasa mampu, atau menginginkan sesuatu, hasrat itu muncul karena memang aku merasa waktunya sudah tepat, dan aku sudah dalam kondisi yang sangat mampu.

Entah mimpi mana yang sedang kurangkai ulang. Entah keinginan mana yang satu per satu sedang aku susun. Namun aku tahu, bahwa pelan-pelan, aku mulai menemukan diriku lagi. Aku mulai mengenali siapa aku ini. 

Dan aku yang menyenangkan itu, ternyata masih hidup di dalam sana. Mimpi-mimpiku yang luar biasa itu, ternyata masih ada dan sedang menunggu kedatanganku selama ini. 

Hai, Aku
Terima kasih sudah menunggu. Aku datang untuk menjemputmu, dan semua mimpi-mimpi kita yang pernah kita kubur dulu. 

Post a Comment

0 Comments