Kenapa Kita Berpisah, Jika Sebenarnya Kita Tidak Pernah Bertengkar?

 



Kenapa kita berpisah, jika sebenarnya kita tidak pernah bertengkar?

Aku pergi bukan untuk menghukumimu, sebab pertanyaan yang tak pernah kau jawab meski bertahun-tahun telah berlalu. 

Aku menyudahi bukan karena aku marah, tetapi aku telah lelah berjuang dan merasa sendirian dalam perjalanan kita.

Aku, melangkah, bukan karena rasa sayang itu telah hilang. Namun, rasanya kedamaian yang kucari selama ini semakin jauh jika kita terus bersama. 

Aku yang terbiasa menghadapi kenyataan, kau yang memilih mengubur kebenaran.

Aku yang mati-matian menyembuhkan luka, kau yang tanpa bersalah telah menorehkannya.

Aku yang berlari bertahun-tahun mencari kedamaian, kau yang bahkan tak menyadari ketiadaanku ribuan hari berlalu.

Aku terlalu perasa, sedang kau terbiasa mengabaikan rasa.

"Kamu masih mencintaiku?" tanyamu suatu waktu.

Aku menelan ludah dan menghela napas. Tidakkah terlalu tua bagi kita untuk membicarakan perihal cinta? Nyatanya kita adalah dewasa yang dibesarkan realita. Meski aku hidup dalam mimpi dan angan-angan, tetapi setiap pagi lagi-lagi kenyataan membangunkanku melalui alarm yang berdering di ponselku. Aku memasakkan sarapan untukmu, meninggalkan makan siang dan sepiring perasaan untuk kau nikmati nanti, mengumpulkan hal-hal kecil yang siap kubawa pulang untuk kita nikmati. 

Kita memang terlalu tua untuk membahas cinta, tetapi janganlah kau salah pahami bahwa aku tidak menyayangi kebersamaan kita. 

Aku masih mengingat setiap period yang kulalui dengan bangun lebih lama, dan sarapan yang telah terhidang.

Aku masih mengingat ponselku yang tiba-tiba penuh setelah seharian kubawa kerja.

Aku masih mengingat piring-piring yang seketika menjadi bersih setelah kukotori untuk memasak ini dan itu.

Aku masih mengingat Sangobion dan Tolak Angin yang selalu kau selipkan di tasku di tiap perjalanan panjang yang harus kutempuh.

Aku masih ingat pijitanmu menjelang period yang menyiksa pinggang dan punggungku.

Aku masih ingat pujianmu di tiap masakan yang kumasak.

Namun...

Aku juga masih ingat pertanyaan-pertanyaanku yang tak pernah kau jawab.

Aku masih mengingat penjelasan yang tak kunjung kau berikan padaku.

Aku masih mengingat malapetaka lima tahun lalu.

Aku masih mengingat rasa sepiku meski kau duduk di seberangku.

Aku masih mengingat dengkurmu yang mengalahkan tangisku di tiap malam.

Aku masih mengingat, kita tidak pernah menceritakan apapun, selain keluhanmu perihal pemerintah, atau barang-barang untuk anak kita. Bukan, tidak pernah ada kita di rumah ini.

Hanya ada aku memikirkan segalanya, dan kau yang selalu tenang.

Lukaku masih berdarah, dan kau menutup mata.

Jadi, aku pamit pergi, ya. 

Kita berpisah bukan karena tidak lagi saling menyayangi, tetapi karena semakin berkurangnya kebaikan di rumah tangga ini.

Post a Comment

0 Comments