Ya, benar. Aku memang berkali-kali hampir menyerah. Berkali-kali nyaris menemui kematian yang kupaksakan. Namun rasanya, kutempuh badai ini, atau tinggal dalam rumah yang telah lama runtuh, tak ada bedanya bagiku; aku tetap berjuang mati-matian melawan keinginan untuk mati, menyerah pada keadaan yang tak pernah kuingini.
Hari itu kamu bertanya, "Yakin untuk berpisah? Nggak kasihan sama anak yang tumbuh tanpa orang tua utuh?"
Kamu memintaku mengasihani seorang anak, yang bahkan dengan kebersamaan kita, dia tetap tidak mendapatkan orang tua yang utuh? Lupakah kamu aku telah lama pergi dari rumah itu? Tidak sadarkah kamu bahwa aku tidak ada lagi di sana setelah hari itu? Aku yang terlampau mahir berpura-pura, atau memang kamu saja yang tidak peka?
Menurutmu, hari-hariku seketika menjadi mudah setelah aku menginginkan perpisahan itu? Kamu pikir, aku tertawa dan tersenyum lepas seperti di postingan sosial mediaku? Kamu kira, segala proses ini begitu mudah?
Tidak. Aku hampir mati menjalani proses ini. Air mataku berkali-kali habis menangisi setiap pertanyaan dan tudingan yang dituduhkan padaku. Aku yang terluka, tetapi aku yang dijadikan tersangka.
Setiap mediasi yang kutemui berujung dengan kalimat, "Pikirkan baik-baik. Kasihan anak". Namun tidakkah kamu dan mereka berpikir? Yang seharusnya berpikir bukan aku, tetapi kamu dan mereka. Ketika kamu melakukan kesalahan itu, pernahkah kamu berpikir masa depan anak kita? Ketika kamu melakukan semua itu, pernahkah kamu berpikir efek domino yang akan menimpa rumah tangga kita? Ketika, kamu, dengan mudahnya, memalingkan wajah dan meninggikan suara, bahkan menutup mata dan enggan membicarakannya meski aku bertanya dengan nada paling rendah dan emosi sebaik mungkin, nyatanya semua itu akan meninggalkan luka yang tidak akan pernah sembuh? Akan menjadi bom waktu yang akan meledak cepat atau lambat?
Ketika mereka menyuruhku berpikir, pernahkah mereka berpikir kembali, apa yang akan mereka lakukan jika anak perempuan mereka ada di posisiku? Mungkinkah mereka akan meminta hal yang sama? Tidak. Mereka bahkan tidak bisa menjawab ketika kutudingkan kembali kalimat itu kepada mereka. Ironi sekali, bukan? Mereka memintaku berpikir, tetapi tidak mampu meminta anak perempuan mereka berpikir jika ada di posisiku. Betapa egoisnya orang-orang ini. Mereka bahkan tidak tahu sesulit apa aku berjuang hidup lima tahun ini.
Jika kamu tahu, seberat apa badai yang kutempuh sekarang, tidakkah kamu ingin tahu mengapa kutempuh jalan ini daripada bertahan lebih lama denganmu?
Benar. Kamu bahkan tidak peduli dengan alasan-alasanku.
Namun aku ingin kamu juga tahu, bahwa meski nanti aku akan mati dalam amukan badai ini, aku akan merasa lebih baik karena aku memperjuangkan kedamaian yang kucari selama ini--alih-alih bertahan dalam rumah yang tak pernah utuh lagi.
0 Comments