Alih-alih menghambur ke pelukanmu, yang kulakukan hanya menepuk lenganmu dan meremasnya. Senyumku lekas mengembang tanpa bisa kutahan.
“Sehat?” tanyaku canggung.
Dari sekian banyak kalimat yang kurangkai, kata-kata yang kupilih, yang kupikirkan sejak di perjalanan, yang keluar dari mulutku hanya satu kata itu saja. Berjam-jam yang kuhabiskan untuk berpikir keras, sia-sia dan berujung mengucap kata klise. Sehat? Tentu saja kau sehat. Kau tidak akan bersusah payah menawari menjemputku jika keadaanmu tidak sehat.
“Sehat,” jawabmu singkat, diikuti senyum yang… lebih teduh dari terakhir kali aku melihatmu.
“You’re getting bigger.” Aku menurunkan tangan, lalu memainkan jari. Rasanya canggung sekali.
“You’re still skinny.”
Aku tertawa, begitu pun denganmu.
Sepuluh tahun lalu, terakhir aku melihatmu. Fisikmu berubah, senyummu berubah, tatapanmu berubah. Sepuluh tahun, ada banyak sekali hal yang berubah, kecuali perasaanku terhadapmu. Kubiarkan ia tetap hidup. Meski tahun demi tahun berlalu.
Kamu… apa merindukanku juga?
“Aku beli point dulu, ya,” ucapku selanjutnya, sebelum kian larut dalam pertanyaan-pertanyaan.
“Jauh2 sampe sini belinya point.”
“Di tempatku gak ada hey!”
“Makanya pindah Ibukota.”
Aku tertawa, kau pun juga.
***
Di antara lalu lalang orang-orang, riuhnya stasiun oleh pengumuman, aku menangkap seseorang berjongkok, bermain dengan seekor kucing liar. Pasti dia.
Aku berjalan mendekat. Senyumku lekat. Sejak dulu, dia tidak pernah berubah.
Beberapa menit kemudian, dia menoleh ke belakang, lekas mendapati aku berdiri di sini. Ia tampak terkejut.
“Eh,” ucapnya, lantas buru-buru berdiri.
Tangannya meremas lenganku. Padahal aku tidak sekurus dulu, tetap saja remasan perempuan itu terasa pedas.
“Makanya pindah Ibukota,” ucapku mengikutinya berjalan ke gerai point coffee.
“Malas ah. Nanti jumpa terus.” Ia terkekeh dan masuk antrian.
Aku menatap punggungnya dari jauh. Sepuluh tahun berlalu. Aku bahkan sudah bersama yang lain, patah hati, gagal move on, sampai akhirnya berhasil melanjutkan hidup. Namun rasanya… perempuan ini selalu menempati ruang itu. Melihatnya sekarang, rasanya aku ingin kembali; berlari ke arahnya, yang tidak sempat kulakukan dahulu.
“I got it!” Ia mengangkat kopinya tinggi-tinggi, menampakkan sebuah cincin di jari manisnya.
0 Comments