S(AD)EPTEMBER
Empat tahun lalu, kamu lahir--tepat sehari setelah ulang tahunku. Malam itu, aku memakan donat dengan senangnya. Makanan manis memang terasa menyenangkan, sebab sudah dua minggu aku menahan diri untuk mengurangi makan. Kata Dokter, kamu sudah terlalu besar di perutku, sedangkan tubuhku kecil.
Sebelum tidur, aku mengusap perut dan berkata, "Besok keluar ya, Nak. Jadi kado Ibuk, please. Nanti Ibuk kotakin mau nggak? Hehe"
Pagi harinya, tanggal 23 September 2021, aku menemukan darah di celana dalamku. Aku panik, tentu saja. Sebab aku pikir, keluar darah itu akan mengharuskanku dioperasi. Kamu tahu nggak, setakut apa aku sama rumah sakit dan ruang operasi? Nampaknya aku lebih takut itu ketimbang harus menghadapi pacet. Hehe
Aku takut mati di ruang operasi, dengan AC dingin dan sendiri. Aku takut kamu akan menghadapi dunia tanpaku, sebab kutahu, aku akan menjadi teman terbaik perjalananmu nantinya. Bukan tahu, tetapi aku ingin. Aku ingin menjadi teman perjalananmu di bumi ini.
Pukul setengah tujuh pagi, kita buru-buru ke tempat Bidan Sona. Aku masih mengendarai motor. Motor bebek pula, bukan motor matik. Dipikir-pikir, kuat juga aku saat itu. Haha.
Sesampainya di tempat Bidan Sona, Buk Bidan ngecek pembukaan. Katanya baru mulai pembukaan, tapi belum ada. Kita disuruh pulang, katanya kalau lahiran pertama bakalan lama. Dan katanya juga, darahnya nggak apa-apa. Itu normal. Bukan sebuah tanda aku harus melakukan persalinan di ruang operasi. Aku merasa lega, dan memutusan pulang.
Aku masih jalan pagi waktu itu. Ngasih makan kucing komplek yang tidak terurus. Main gym ball. Jalan jongkok. Semua kulakukan dengan baik. Dan saat itu, selepas azan Ashar, rasa sakitnya mulai datang. Namun, ya, semuanya nggak sakit-sakit banget. Masih bisa dikontrol. Aku masih santai sambil nyemilin nanas. Ngomong-ngomong, nanas matang dan dingin itu enak banget ternyata!
Selepas Maghrib, kita balik lagi ke rumah Buk Bidan. Kontraksinya makin rapat, dan kata Buk Bidan aku udah bukaan empat atau enam gitu. Aku lupa pastinya. Namun aku masih bisa main gym ball, dan menelepon nenek kamu. Saat itu, nenekmu bertanya, "Sakit, Nak?"
Aku kesal mendengar pertanyaannya. "Kayak nggak pernah melahirkan aja," jawabku.
Nenekmu tertawa. "Dulu waktu ngelahirin kau nggak sakit Mamak rasa. Ngelahirin adekmu malah operasi."
"Ya, sakit-sakit dikitlah berarti."
Aku masih tertawa dan makan es krim saat itu. Namun jauh di hatiku, aku merasa sendirian. Momen berharga ini kulalui di perantauan, tanpa keluarga, tanpa orang tua. Aku kangen Bapak. Pasti Bapak akan jadi orang paling semangat menyambutmu dan berkata ke teman-temannya, "Cucuku mau lahir!"
Selepas makan es krim, pecah ketuban. Kamu udah mau lahir! YEAY!
Buk Bidan datang, dan aku pindah ke kasur bersalin. Apakah rasanya sakit? Sebenarnya aku lebih panik tiap mendengar suara kelentingan benda-benda stainless beradu. Aku pasti langsung ngomong, "Apa itu Buk?"" atau "Jangan digunting, Buk!". Aku tidak takut melahirkan, aku takut intervensi yang akan datang. Kontraksi bukan apa-apa bagiku, tapi kalau harus digunting dan segala macamnya, itu menyeramkan sekali bagiku.
Namun, syukurnya, kamu lahir dengan mudah. Sejak awal, kamu memang mudah diajak kompromi. Ah, aku baru menyadari saat mengetik cerita ini. Kuminta kamu lahir sembilan bulan dua minggu saja, kamu menurut. Kuminta kamu lahir sehari setelah ulang tahunku, kamu aminkan. Kuminta agar mudah saja kamu keluar, anggap saja seluncuran di waterboom, kamu pun mendengarkan. Sejak dulu, kamu mendengarkanku. Sejak dulu, kita sudah berteman baik.
September tahun ini, kamu genap empat tahun. Wah, aku sudah jadi ibumu selama empat tahun. Maaf ya, masih banyak kurangku. Masih kurang luas sabarku. Masih belum banyak ikhlasku. Aku menghilang dari hidupmu lebih dari setengah umurmu. Namun di September kali ini, izinkan aku pulang ke kamu. Izinkan sekali lagi aku mencoba jadi ibumu. Izinkan kita menjadi teman baik sebagaimana dahulu. Akan kutebus hari-hari di mana aku lebih memilih dunia mimpiku, sebab kenyataan setelah bangun terasa lebih menyakitkan bagiku. Maafkan aku yang mengabaikanmu, sebab aku sibuk menambal luka-luka milikku. Maafkan aku yang membiarkan masing-masing dari kita merasa 'sendiri'. Padahal, kita saling butuh, kan?
September tahun ini berbeda untuk kita. Kita jalani berdua di pulau asing ini. Kamu yang masih bertanya-tanya mengapa kita hanya berdua, dan aku yang masih menduga-duga bagaimana cara menjelaskannya. Sesekali kamu menangis di malam hari, menyampaikan inginmu yang tidak bisa kukabulkan. Namun kamu harus tahu, pelukanku selalu terbuka lebar menyambutmu.
Di hari lain aku yang menangis sesenggukan. Dan semakin ke sini, aku semakin sadar, bahwa pelukanmu tidak pernah abai dari air mataku. Kita berdua punya pertanyaan-pertanyaan besar yang sulit untuk kita jawab. Kita berdua punya keinginan-keinginan yang mungkin belum bisa terkabul. Namun jangan biarkan kepercayaan di hati kita luput, bahwa Tuhan tidak pernah salah mengabulkan setiap doa. Sebagaimana, empat tahun lalu, Dia mengabulkan segala doaku dalam wujud kamu.
Jadi, Sadtember atau September-kah ini?
Meski dengan segala kesedihan, semoga ini tetap September yang baik untuk kita. Kado dari segala penjuru datang untuk kita di September ini. Orang-orang baru dikirimkan ke hidup kita. Dalam kesulitan ini, seolah Tuhan buat megah September kita tahun ini.
Terima kasih, ya, sudah hadir. Sudah sabar untuk setiap ketidaksabaranku. Sudah tabah, untuk setiap huru-haraku. Sudah memaafkan, untuk setiap salahku. Sudah menerima, untuk usahaku yang terkadang salah. Mulai hari ini, dan seterusnya, aku akan merayakanmu setiap hari. Untuk hari-hari di kehidupanmu nanti, aku siap membuatnya megah dan mewah.
Kita bangun rumah yang baru, ya. Rumah yang sesuai keinginan kita. Nggak pa-pa, kita masih punya banyak waktu. Pelan-pelan saja, kita tidak sedang terburu.
Kalau nanti kamu menemukan tulisan ini, kamu harus tahu, sekarang kamu sedang menonton video di ponselku, setelah menyantap sepotong keik cokelat yang berkali-kali kamu bilang enak. Iya, kita masih di kantor, sebab aku harus lembur.
Badai pun ada teduhnya, kan? Hari-hari berat ini akan lekas berlalu. Katamu, kamu ingin melihat salju. Dengan penuh senyum aku menyahuti. Seluruh dunia akan kuberikan, dengan semua musim yang ada.
Aku menyayangimu. Melebihi apa pun.
0 Comments