Mereka Yang Tidak Pernah Menyerah Padaku

 Mereka yang tidak pernah menyerah padaku …

Sederetan nama yang tidak asing, tentu telah lama ada di kontakku, juga di hidupku. Bahkan, nama mereka tidak pernah berubah sejak pertama kali aku menyimpannya.

Hari ketika aku memutuskan untuk mengakhiri hidup, sebab rasa kesalku kepada orang yang mempersulit urusanku, tidak satu pun yang tahu. Kecuali dia, Tania. The last text that I sent to her, “I want to self harm. I want they regret every words that they said to me.”

Setelah itu, aku benar-benar tidak memeriksa ponselku lagi. Malam itu aku berjuang hidup mati-matian. Aku berusaha untuk menyingkirkan pikiran itu. Namun, ketika aku melihat sebilah pisau di meja, aku mulai mendengar suara-suara itu. Permintaan agar aku mengambil pisau itu, sebuah lanskap ketika pisau itu mengiris pergelangan tanganku, juga ketika darah mengucur keluar. Lalu berganti lanskap ketika aku melihat diriku sendiri tersadar, dan tergopoh-gopoh menuju IGD seorang diri.

Aku menggelengkan kepala, berusaha melawan.

Aku melanjutkan olahraga, berusaha menenangkan pikiran.

Namun, skenario lainnya datang. Suara itu memintaku mengambil pisau, mengiris-ngiris tanganku, lalu aku menyeringai lega menyaksikan darahku menetes ke lantai.

Aku mulai menangis. Merasakan betapa mengerikannya diriku sendiri. Aku ketakutan, dan aku sendirian. Aku mati-matian berjuang hidup, sementara mereka yang menghancurkanku baik-baik saja menikmati hidup.

Malam itu, tiba-tiba saja anakku terbangun, merengek mengajakku tidur. Tuhan menyelamatkanku dari kengerian pikiranku sendiri, dan suara-suara yang tiba-tiba muncul di kepala entah darimana asalnya.

Ketika pagi menjelang, aku terbangun dengan kepala pengang, dan mata lengket. Di cermin, aku menyaksikan tidak lebih dari seorang perempuan menyedihkan dengan mata bengkak, dan kehilangan arah.

Aku memasak sarapan untuk anakku, membangunkannya, memandikannya, menyiapkan perlengkapannya, dan mengantarkannya ke daycare. Aku melewati kantor dengan kebencian yang tidak bisa kutahankan. Buru-buru aku pulang agar tiada yang menyadari aku yang melintas.

Sesampainya di rumah, earbuds terpasang, aku mengerjakan segala yang bisa kukerjakan. Menyapu, mengepel, menyuci baju, mencuci piring, dan semuanya. Aku berjuang untuk bisa hidup hari itu. Dan aku menyadari Tania meneleponku berkali-kali. Aku takut, untuk mengangkat. Aku takut, aku akan menangis lagi.

Aku masih ingat, sekitar pukul sepuluh, seseorang mengetuk pintu rumahku, setelah aku menyanyat tanganku beberapa kali. Aku senang merasakan sisi lain tubuhku sakit. Kupikir aku telah menciptakan sakit yang lain agar berkurang sakit di dada kiriku sendiri.


Cindy Tania

Ketika kubuka pintu, wajah Chikita muncul. Ia menyerahkan totebag bertuliskan Tomoro. Kupandang dengan heran dan penuh tanya.

“Dari Kak Tania,” katanya.

Aku mengangguk, hanya merespon dengan oh, tanpa suara. Lalu mengucap terima kasih, lagi-lagi suaraku tidak keluar.

Tak lama seseorang menelepon Chikita, dan aku tahu segera bahwa itu Tania. Chikita menyerahkan ponselnya, mengatakan padaku bahwa Tania ingin berbicara denganku.

Tanganku gemetar menerima ponsel itu, tetapi lekas kulekatkan ke telingaku.

“Kau kenapa? Kau nggak pa-pa kan?!”

Sebaris pertanyaan Tania meruntuhkan pertahananku. Aku menangis seperti anak kecil yang ditinggalkan seorang diri di taman luas yang tidak ia kenali. Aku ketakutan, tetapi bingung meminta pertolongan.

“Nggak pa-pa.”

“Astaga Ruummm!! Aku pikir kau udah mati ya Tuhan!”

Aku terisak. Tidak menyahuti.

“Kalo kau nggak mau ngomong sama siapa-siapa, it’s okay. At least answer my call once, or reply my text! Kau daritadi malam aku telepon, sampai Subuh, sampai sekarang. Nggak ada satu pun yang kau angkat! Ogik nelepon kau pun nggak kau angkat!”

“Maaf …” Aku hanya mampu mengucap satu kata, di antara sedu sedanku, di antara kebingungan dan ketakutanku.

“Aku setengah mati nyari kabar kau! Astaga ya Tuhan. Aku udah hampir kirim damkar ke rumah kau ya kalau tadi orang kantormu nggak ada yang bisa ke rumahmu!”

Bahuku kian berguncang, tangisku kian pecah.

“Handphone kau di mana?!”

“Di kamar …”

“Ya udah. Mbak tadi mana? Aku mau ngomong.”

Aku memberikan ponsel itu ke Chikita, seperti permintaannya. Aku tidak tahu lagi mereka berbicara apa. Tidak butuh waktu lama, telepon itu terputus.

Chikita kembali melihatku. “Kalau ada apa-apa, atau butuh apa-apa, kabarin aku, Kak.”

Aku hanya mengangguk. Lagi-lagi berucap makasih tanpa bersuara.

Aku menutup pintu, lalu membawa es kopi yang dibelikan Tania. Aku membaca menu yang tertempel di cup. Ice Kopi Aren. Menu paling murah, bahkan lebih murah dari ongkir ke kantorku. Apakah, Tania memesan gofood hanya untuk mengetahui kondisiku?

 



Dan ya, begitulah yang terjadi. Dia berjuang mati-matian mencari kabarku, tidak menyerah sedikit pun meski sebenarnya, ia tidak tahu siapa pun orang di sekitarku. Dari jarak ribuan kilometer, Tania berjuang untuk mencari tahu segala hal tentangku, memastikan aku untuk tetap hidup, memastikan aku tetap berjuang dan bertahan.

Jika dia tidak pernah menyerah padaku, kenapa aku harus menyerah terhadap diriku sendiri??



Ashraf Khashoggi
I'm a bit scared to share about him, especially about his name on my contact. Sejak awal, kira-kira 2013, pertama kali kami ketemu di Pers Mahasiswa, namanya memang sudah begitu. Dia tidak pernah berganti nomor, aku bukan tipe yang rajin update kontak. So yeah, it is what it is. 

Dari ketiga nama di atas, dia adalah orang yang paling tidak tahu update ceritaku. Sederhananya, dia laki-laki, dan aku membatasi cerita perihal pribadi kepada lawan jenis. Meski, i knew him better than he knew his self. 

Kami jarang sekali memiliki pembicaraan serius. Jadi, sebenarnya, sejak awal aku memang tidak pernah melibatkan dia, dan berusaha untuk tidak melibatkannya. Namun, karena Tania sudah menceritakan kegilaanku sebelumnya kepadanya, dan meminta bantuannya untuk meneleponku, jadilah aku juga mengiriminya pesan. Sekadar permintaan maaf karena sudah merepotkannya sampai harus meneleponku. Meski, dia hanya meneleponku sekali. Like ... he was totally trust me that I won't do a dumb things. 

Tapi, dia adalah orang kedua yang marah. Dan aku, entah dengan alasan apa, merasa bersyukur dia memarahiku kemarin. Aku mengucap janji, yang membuatku merasa terikat dan harus memenuhinya.


Entah mengapa, aku merasa, dia pun tidak pernah menyerah terhadapku. Katanya, aku pernah melakukan hal yang sama dulu, ketika kami masih muda. Dulu, aku bukanlah orang yang mudah menyerah, dan aku layak untuk dikelilingi orang-orang yang tidak pernah menyerah terhadapku juga, katanya.



Kharisma Mulyaningtama a.k.a Dima

Kayaknya, seluruh duniaku berputar di dia. Sejak awal, dialah yang menguatkanku untuk melangkah. Sejak awal, dialah tempat aku bercerita dan mengeluh. Bukan, dia bukan orang yang ada lima tahun lalu, tetapi dia yang hari itu menyadari kondisiku yang kian menyeramkan dan mengirimiku pesan bertanya 'kenapa kau?'

Aku dan Dima sadar, hari ketika ia mengirimiku pesan, setelah sekian lama story-ku tampak gloomy, berkat Allah yang menggerakkan hatinya. Tanpa gerakan Allah, mungkin sampai hari ini dia tidak akan pernah tahu ceritanya, dan aku mungkin belum juga melangkah.

Kejadian kali ini tidak ia ketahui. Belakangan aku mengurangi intensitas mengeluh padanya memang, sebab satu dan dua hal. Namun, ya, kebayang seperti apa dia akan marah kepadaku jika ia tahu. Tampaknya, dari mereka bertiga, aku paling takut kalau Dima yang marah. Hehe


Jika mereka bertiga tidak pernah menyerah terhadapku, kenapa aku harus menyerah terhadap diriku sendiri?
Hujan pun pasti ada teduhnya, kan?




Post a Comment

0 Comments