Dua Bulan Setelah Perceraian

 

Dua bulan lalu, tepat Hakim mengabulkan permohonanku. 

Dua bulan lalu, tepat ketika statusku berubah.

Dua bulan lalu, secara legal, kita kembali menjadi orang asing.

Hari ketika Hakim mengabulkan permohonanku, satu-satunya yang terlintas di kepalaku adalah bocah empat tahun yang secara terpaksa, dan ajaibnya, dia tumbuh lebih dewasa dari anak seusianya. Aku hanya ingin memeluknya, dan mengatakan kepadanya bahwa segalanya akan baik-baik saja. Akan kubuat baik, akan kuusahakan baik. 

Dua bulan setelah perceraian...

Lampu di teras rumah putus. Aku mencoba menggantinya, tetapi kuningannya ikut lepas. Tidak apa-apa, bisa diganti. Namun sudah menginjak dua bulan lebih, belum juga kuganti. Tidak apa-apa, biarkan teras itu gelap untuk sementara. Aku bisa bebas memakai celana pendek di teras, tanpa takut diketahui orang-orang.

Pipa PDAM di depan rumah lepas, bocor. Tengah malam aku dan bocah empat tahun berusaha membetulkannya, tetapi tidak berhasil. Aku basah kuyup, bocah itu terlambat tidur. Tidak apa-apa, biarkan air itu melimpah ruah dan mengalir deras. Akan ada petugas PDAM yang bertugas membetulkannya.

Rice cooker di rumah kondisinya makin parah. Pot-nya tidak murah, hampir 3/4 harga rice cooker-nya. Tidak apa-apa, aku bisa membeli rice cooker baru dengan pot stainless. Lebih sehat untuk aku dan bocah empat tahun itu.

Galon air masih bisa kuangkat sendiri. Aku cukup kuat dan masih kuat hanya untuk itu. 

Jadwal tidurku makin baik. Jam makanku kadang berantakan, tetapi tidak apa-apa. Jadwal olahragaku berantakan, tetapi tidak apa-apa. 

Aku lebih sering tertawa bersama bocah empat tahun di rumah. Aku masih marah-marah, tetapi tidak apa-apa. Aku hanya berdua saja dengannya di pulau asing ini, tetapi tidak apa-apa. 

Aku sakit, tetapi harus mengendarai motor sendiri untuk berobat. Tidak apa-apa, biasa juga selalu begitu. Aku masih harus memasak, sebab di luar hujan dan tidak bisa memesan makanan pesan-antar. Tetap tidak apa-apa, biasa juga memang begitu.

Bocah empat tahun itu meminta salat di masjid. Tidak apa-apa, aku bisa mengantarnya. 

Desember nampaknya kurang ramah, seolah ia menghabiskan jatah 'sulit'ku di tahun ini. Aku sakit, bocah itu juga sakit. Kami sakit berdua, dan saling merawat diri. Tidak apa-apa, semuanya akan sembuh.

Aku memutuskan untuk pindah rumah. Sekarang hanya ada aku dan bocah itu yang mengemas barang. Namun, beberapa orang datang menawarkan bantuan. Tidak apa-apa, akhirnya tetap ada yang membantu.

Beberapa kali aku masih menangis, dan merasa kesepian. Tidak apa-apa, aku masih manusia, dan masihlah hidup. Makanya bisa merasakan perasaan-perasaan itu. 

Sejak hidup berdua, aku banyak sekali memesan makanan pesan-antar. Tagihannya bisa sampai sejuta. Tidak apa-apa, semua masa pemulihan memang menguras banyak uang.

Aku harus menjual emas untuk membayar kontrakan rumah yang baru. Tidak apa-apa, kuanggap melepas kenangan dari pernikahan kita yang telah hancur. 

Rencana panjangku dalam lima tahun ke depan nampaknya tidak akan berjalan mulus. Aku kesulitan mengikuti kelas-kelas Data Engineering. Lamaran pekerjaanku masih ditolak di banyak tempat. Belum ada perusahaan asing yang menerima diriku untuk menjadi karyawan WFA mereka. Sepanjang Desember aku berhenti berolahraga, tetapi terus makan. Wajahku tidak serta-merta menjadi mulus dan kembali sembuh meski aku sudah berganti skincare. Aku tidak bisa mengikuti short-course bagus yang mahal itu. Aku belum bisa mengikuti English course yang mahal itu juga. Aku belum tahu rencana jalan-jalanku bulan Mei nanti bisa terlaksana atau tidak. 

Bulan lalu aku berpikir, bahwa segalanya akan berjalan mudah dan mulus untuk rencana panjang lima tahun ke depan. Kupikir, tahun depan aku akan memulai course, akan jalan-jalan, dan lain sebagainya. Nyatanya semua rencana sempurna itu harus ditunda dahulu, sebab semuanya butuh uang dan aku tidak punya tabungan. Tidak apa-apa, akan kuusahakan rezeki itu dari segala arah. Akan kuperjuangkan lomba-lomba yang ada. 

Kemarin aku sibuk mengatur langkah, mempercepat lariku, agar bisa mencapai finish sebelum lima tahun. Aku lupa, bahwa sejak dulu aku tidak suka berlari. Aku lupa, aku tidak pernah mahir berlari. Aku lupa, berlari selalu membuat dadaku rasanya terbakar dan aku kesulitan bernapas. Kenapa sekarang aku harus memaksa diriku untuk berlari?

Aku berlaku begitu keras kepada diriku, untuk mencapai tujuan besar itu. Aku lupa memberi waktu kepada diriku sendiri yang baru kupilih setelah lima tahun lebih berlalu. Aku lupa, bahwa setelah badai, pelangi tidak serta-merta muncul. Ada jeda tak kasat mata sebelum pelangi muncul; untuk sisa air hujan tuntas, untuk awan gelap bergeser, untuk angin menjadi lebih tenang, untuk cahaya matahari lebih terang, hingga pelangi muncul dan langit tampak cerah. Aku lupa memberi waktu istirahat untuk diriku yang telah menerjang badai bertahun-tahun. Aku lupa, memberi jeda pada hidupku yang baru belajar untuk tenang. 

Bertahun-tahun aku sibuk mencari kedamaian, mengapa sekarang tidak kunikmati dulu damai yang masih kupelajari dan kukenali?

Manusia butuh jeda, tubuhnya butuh istirahat. Aku akan beristirahat tahun depan, sembari tetap berusaha. Tidak apa-apa, aku akan segera mulai berjalan lagi. Tidak apa-apa, masa baikku akan lekas datang ketika Tuhan berkata, 'ini waktunya'. 


Di masa-masa ini, Tuhan sedang memberiku waktu untuk lebih mengenali bocah empat tahun berambut cokelat gelap itu. Tuhan sedang memberiku waktu untuk menghabiskan lebih banyak waktu bersamanya. Tuhan ingin memberiku masa tenang, agar aku dan anakku memperbaiki hubungan. 

Biarkan saja begini sampai beberapa minggu ke depan, atau beberapa bulan ke depan. Semua akan baik-baik saja. Akan kuusahakan baik untuknya. Aku akan mulai berjalan lagi, bahkan aku akan berlari nanti, jika Tuhan mengatakan, 'ini saatnya berlari, sedikit lagi kau akan tiba'. 

Bukankah... aku memang harus percaya kepada Tuhan? Bukankah... Tuhan Maha Menggenggam Waktu? Aku hanya harus terus meyakinkan Tuhan, bahwa aku siap untuk berusaha lebih demi tujuan-tujuan besar itu. Biarkan usaha-usaha kecilku yang masih terus berjalan, yang akan meyakinkan Tuhan kapan aku akan siap mulai berjalan untuk rencana besar yang sudah kususun dan kudoakan terus. 

Dua bulan setelah perceraian....

Nyatanya, tanpamu, aku tidak apa-apa. Karena sejak dulu, kau memang membiarkanku berjuang sendirian. Tidak ada banyak hal yang berubah. Tidak ada ruang kosong yang kutangisi atau terasa asing. Kasur ini kian lebar untuk kami dan aku tidak merasa aneh. 

Namun, aku jadi menyadari bahwa banyak alasan untuk bertengkar. Bahwa dulu, kita tidak pernah bertengkar, karena aku yang selalu meredam badai, memaki diri sendiri, dan menolak kemarahan yang sebenarnya ada di dalam diriku. Bahwa dulu, barangkali kita tidak bertengkar, karena kau yang memilih mengabaikan kegilaan dari kemarahanku, dan menutup mata dan bertingkah seolah tidak terjadi apa-apa. Yang sebenarnya, pengabaianmu yang menambahi kemarahan di hatiku, dan mati-matian kuredam.

Atau sebenarnya... kita memang sudah habis masa untuk bersama. Bahwa kebersamaan itu memang sudah harus diakhiri, dan kita kembali menjadi asing. 

Jangan bertemu dulu, ya. 

Aku masih menjahit luka yang tersisa. 

Aku masih memperbaiki hubungan dengan bocah empat tahun itu. 

Jangan kacaukan lagi, ya, rencanaku kali ini terlalu besar, dan aku tahu Tuhan meridhoinya, meski aku harus menunggu waktunya.

Post a Comment

0 Comments